Skip to main content

Masih tentang Climate Change

Berikut adalah kutipan wawancara antara Kepala BMKG Edvin Aldrian dengan wartawan perspektifbaru.com tentang perubahan iklim dan hasil konfrensi iklim di Denmark :

sumber : http://www.perspektifbaru.com/wawancara/719

Apa yang Anda tangkap dari pertemuan global kemarin di Copenhagen, Denmark mengenai perubahan iklim yang kelihatannya banyak negara memiliki perhatian sama terhadap masalah ini?

Mungkin kita bisa melihat keinginan besar negara-negara dunia melalui kehadiran 119 kepala negara dan beberapa diantaranya diwakili menteri senior dan sebagainya. Itu merupakan suatu pertemuan terbesar dalam sejarah karena dihadiri banyak kepala negara sehingga kita melihat ada urgensi dan harapan yang sedemikian besar. Kalau kita lihat dari pidato kenegaraan mereka yang masing-masing diberi waktu sekitar tiga menit, sebenarnya semua sudah selaras ingin mendapatkan suatu hasil optimal yaitu perjanjian yang disebut legally binding. Itu agar dapat mengatur tata kehidupan baru mengenai emisi gas rumah kaca dan mereduksi dampak perubahan iklim. Tentu saja kemauan politis ini di dalam tataran negosiasinya jauh berbeda. Yang keluar dalam tataran negosiasi di atas meja perundingan adalah kepentingan-kepentingan kelompok atau negara-negara tersebut. Negara maju sendiri terbagi menjadi Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS) dengan posisinya sendirian. Ada juga umbrella group yaitu Jepang, Australia dan negara lainnya.

Apa yang menjadi keberatan di dalam perundingan itu?

Saya ambil contoh masalah hak cipta. Negara maju seperti AS bersikukuh bahwa hak cipta harus masuk dalam traktat atau hasil perundingan itu. Jadi mereka akan memberikan peluang kepada pihak-pihak swasta dan perusahaan mereka untuk dapat tetap hidup. Namun negara berkembang mengatakan kalau diadakan hak cipta artinya sama saja kapital akan mengalir ke negara maju, padahal negara berkembang masih membutuhkan pendanaan dan teknologi transfer. Contoh nyata adalah solar panel atau panel sel surya yang merupakan salah satu jenis teknologi renewable energy yang sangat menjanjikan. Meskipun Indonesia sudah dapat memproduksi sendiri karena teknologinya hanya beberapa jenis, tapi kita harus tetap membayar. Nah, kita minta kepada mereka (red: negara maju) agar melepaskan hak cipta pada green technology. Kalau semua menyangkut hak cipta artinya sama saja tidak ada lagi teknologi transfer yang murni, dan kita juga masih terkungkung oleh kapitalisme yang lari ke negara maju. Padahal dari sisi pendanaan, negara berkembang menginginkan sebaliknya.

Apa keuntungannya bagi negara seperti Indonesia?

Kita sangat bersyukur karena ada hasil dari pertemuan Copenhagen walaupun sangat minimalis. Saya mengatakan hasil perundingan Bali mungkin jauh lebih baik karena masih menyebut masalah pengurangan emisi/karbon dari pengundulan dan pengrusakan hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation/REDD). REDD plus itu yang sebenarnya argumen utama dalam meja perundingan bagi Indonesia karena kita adalah negara kehutanan. Jadi kita mengusulkan agar salah satu skema pendanaan adalah mengalihkan produksi hutan pemakaiannya dengan skema REDD tadi. Itu cukup masuk dan kita lihat sangat memungkinkan untuk ke depannya.

Selain itu kita melihat ada skema pendanaan yang masuk dalam Traktat Copenhagen (Copenhagen Accord) meskipun masih sangat minimalis menurut negara berkembang. Misalnya, AS menjanjikan sekitar US$ 10 triliun per tahun hingga 2020. Artinya, jumlah itu sangat kecil dibandingkan bailout mereka terhadap bank-bank yang hampir kolaps yaitu sekitar US$ 700 triliun yang dalam setahun saja mereka berani mengeluarkannya. Itu baru dari AS. Lalu juga pendanaan di Global Environment Fund (GEF) yang dipersiapkan untuk dana adaptasi perubahan iklim global tapi baru 0,05 persen dari kebutuhan global terkait janji negara-negara maju dan hanya AS yang menyampaikannya.

Kita tahu bahwa perubahan iklim terjadi semakin lama semakin besar dan dampaknya juga semakin luas, namun pemerintah kita maupun pemerintah dunia terasa tidak terlalu siap untuk melakukan perubahan di dalam sikap dan manajemen lingkungan hidup. Kita tahu sejak Protokol Kyoto digulirkan baik prosedur maupun isu mengenai perubahan iklim makin lama dirasakan sangat mendesak untuk disikapi. Apa yang dimaksud perubahan iklim dan bagaimana fenomenanya?

Perubahan iklim adalah dampak tidak langsung dari pemanasan global. Yang terjadi pertama adalah pemanasan global lalu diikuti beberapa gejala langsung seperti kenaikan suhu bumi lalu kenaikan permukaan air laut. Kedua, dampak tadi menyebabkan penurunan luasan atau cakupan es-es seperti di kutub, Greenland, puncak salju abadi dan yang kita punya adalah Puncak Jaya Wijaya. Dari perubahan yang langsung tadi juga mengakibatkan perubahan pada iklim. Kalau semula kita memiliki suatu keteraturan iklim seperti awal musim hujan atau kemarau datang di bulan tertentu, maka itu akan berubah.

Selain itu, adanya pemanasan global membuat temperatur/suhu di suatu daerah, misal Cianjur, akan berubah menjadi naik. Jadi, itu ada implikasinya dengan kenaikan temperatur di kota dataran tinggi seperti Cianjur. Itu akan membawa penyakit akibat nyamuk seperti malaria ke daerah tersebut, padahal sebelumnya tidak ada. Ada dampak yang bergulir dari satu hal ke hal lain. Perubahan pola musim juga akan mengganggu aktifitas kehidupan petani dan nelayan. Jadi ada sektor kehidupan yang terkena dan makin lama dirasakan bahwa ternyata hampir seluruh sektor kehidupan manusia terkena dampaknya.

Apakah ini tidak hanya terjadi di Indonesia?

Ya, tentu saja. Saat ini secara global sudah disadari bahwa tidak ada bangsa atau umat manusia yang terlepas dari gejala global ini.

Dimana bagian dunia yang paling terasa dampaknya?

Kalau kita lihat ke suhu maka dampak yang paling nyata di kutub karena kenaikan suhu di sana paling tinggi mencapai sekitar 8 °C. Negara tropis paling minimal terkena dampak untuk kenaikan suhu. Namun untuk negara tropis yang sangat mayoritas terjadi adalah curah hujan, jadi tentu saja perubahan curah hujan yang akan kita rasakan bukan suhu. Nah ini yang perlu kita lihat karena perubahan hujan akan membuat perubahan lainnya seperti angin, masalah kesehatan, banjir, kekeringan, dan lain-lain.

Kalau dengan pola yang terjadi saat ini, katakanlah pemerintah dunia masih tarik menarik soal kebijakan dan tindakan terhadap penyelamatan bumi, kapan kira-kira akan terjadi perubahan yang begitu tinggi sehingga akan terjadi dampak yang begitu luas?

Kalau dari segi ilmiah, kita memiliki target tingkat kenaikan maksimal secara global. Tadi saya menyebutkan kenaikan suhu 8 °C di kutub tapi secara global sekarang kenaikan masih sekitar 1 °C. Nah, kita mentargetkan emisi akan stabil pada maksimal kenaikan suhu bumi secara global 2 °C. Itu target globalnya dan semua negara sepakat, yang tidak sepakat adalah pembagian beban tugas. Pembagian mengenai siapa yang harus kontribusi mitigasi lebih besar, dan siapa yang lebih sedikit. Itu yang menjadi perdebatan dan alasan mengapa ini menjadi masalah.

Jadi, bukan karena seperti kita kira bahwa ini ujung-ujungnya duit?

Sama juga. Masalah ini seperti tadi saya katakan adalah masalah hak cipta dan ujung-ujungnya duit. Masalah mekanisme pembangungan bersih (Clean Development Mechanism/CDM) adalah ujung-ujungnya duit atau masalah finansial. Negara-negara yang garis pantainya sangat rentan, seperti Maladewa, Fiji dan lainnya membutuhkan dana yang besar. Sharing capacity dan masalah tanggung jawab yang menjadi problem. Pembagian ini kita lihat ada antara negara maju dan negara berkembang, juga terbagi ada G77 dan ada negara Afrika.

Tanpa menunggu pembagian itu, pemerintah dalam hal ini BMKG sudah ikut serta menanggulangi perubahan iklim. Apa saja yang sudah dilakukan dan kira-kira bagaimana dampak ke depannya?

Sebenarnya pemerintah kita dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah menunjukkan voluntary action dengan menawarkan mereduksi karbon secara sukarela sebesar 26% dari business as usual sampai tahun 2020. Kalau dibantu oleh pendanaan asing kita akan mentargetkan sampai 41%. Saya rasa ini sangat luar biasa sekali. Yang menjadi masalah adalah bagaimana kita mengawal putusan itu untuk ke depannya bisa direalisasikan. Itu target yang cukup ambisius.

Namun, di sisi lain kita tetap menyaksikan illegal logging terus berjalan yang tentu saja punya dampak tidak kecil terhadap perubahan iklim, bahkan beberapa waktu yang lalu greenpeace sampai membuat aksi besar di Kalimantan. Bagaimana mensinkronkan rencana aksi pemerintah dalam hal ini rencana aksi presiden dengan kebijakan setiap departemen?

Saat ini sampai Maret 2010, kita sedang menyusun rencana aksi nasional untuk strategi mengurangi karbon 26%. Dalam berapa bidang kita sudah punya contohnya. Dalam pemakaian energi, kita sudah ada Peraturan Presiden (Perpres) No.5 tahun 2006 mengenai energy mix policy meskipun dalam berapa kajian terakhir kita lihat tidak cukup hanya memakai itu. Jadi dalam opsi Perpres tersebut ada pemakaian clean energy seperti panas bumi, energi nuklir yang juga tidak besar, dan berbagai keputusan seperti perubahan minyak bumi ke dalam gas.

Apakah saat ini perubahan dari energi minyak bumi ke energi alternatif memang tidak terelakkan?

Sangat tidak terelakkan tapi kita lihat beberapa negara seperti Brazil sudah cukup lebih maju dalam hal ini. Yang ditakutkan adalah Indonesia sudah mempunyai komitmen tapi belum membuat jalan menuju ke arah pencapaian komitmen itu. Kalau kita melihat contoh negara lain, misalnya, China berani mengurangi 40% dari tahun 2005. Pada 2006 China sudah siap mengganti semua generator produksi energi mereka menjadi lebih clean. Dia sudah melakukan pengurangan sebelum Copenhagen sebesar 20%. Jadi sudah ready.

Presiden AS Barack Obama sebelum memutuskan menurunkan 17% emisinya, ia sudah mentargetkan pengurangan karbon dari sektor transportasi. Pemakaian energi BBM per kilometernya ditingkatkan, jadi nanti mesin mobil harus lebih efisien dengan satu liter bahan bakar yang sama mencapai jarak tempuh yang lebih jauh, sehingga total akan terjadi efisiensi.

Apakah target Indonesia sekalipun 26% dan di bawah China masih tergolong ambisius?

Ya, karena Indonesia perlu membuat arah atau roadmap ke arah situ. Itu yang perlu dirundingkan. Belum lagi secara sektor dan mungkin secara wilayah juga. Yang jadi perdebatan secara global adalah pembagian secara wilayah. Demikian juga pembagian di Indonesia, provinsi mana yang mungkin harus mengurangi lebih banyak seperti DKI Jakarta. Antar wilayah di Indonesia akan terjadi negosiasi, di situ akan terjadi perdebatannya.

Terkait dengan pertemuan di Copenhagen, apa saja yang didorong terutama terkait peralihan teknologi dari negara maju ke negara berkembang?

Kemarin, perundingannya berlangsung alot dan teksnya berubah dari hari ke hari. Terakhir AS mengusulkan agar dibentuk Regional Climate Technology Center dengan dibentuk semacam tiga regional center. Tapi negara berkembang sudah memperkirakan itu karena kemungkinannya adalah satu di Asia dengan disupervisi Jepang, satu lagi di benua Amerika, dan satu lagi di Eropa untuk Afrika. Lalu dibentuk semacam Climate Technology Board semacam (Experts Group on Technology Transfer (EGTT) yang secara konsep sudah terbentuk tapi belum ada kerjaannya karena belum ada komitmen dana.

Akhirnya, kemarin keinginan membentuk teknologi center itu sudah mau diadopsi oleh negara berkembang, namun isinya yang menjadi masalah. Misalnya, apa saja proyek-proyek teknologi yang diinginkan. Negara berkembang menginginkan semua cycle dalam technology development masuk di dalamnya.

Apa saja kira-kira?

Riset, pengembangan riset dan development, inovasi, difusi teknologi, dan penjualan. Negara maju sangat keberatan memasukkan unsur riset karena itu ibarat dapurnya teknologi. Lalu di-push sehingga akhirnya disepakati bahwa untuk kolaborasi riset masih diterima. Jadi ini majunya pelan-pelan, pelik sekali.

Apakah sejak Protokol Kyoto kelihatan atau tidak kemajuannya?

Ya, sangat kelihatan. Terakhir, saat High Level Meeting masing-masing agenda sidang diharapkan mencapai suatu teks yang sudah sangat kompromistis dan akan diserahkan pada kepala negara. Kalau dilihat hasilnya sudah cukup minimalis, yang tertinggal hanya teks-teks yang jadi perdebatan sangat krusial antara kelompok negara maju dan negara berkembang. Akhirnya yang keluar adalah suatu Copenhagen Accord yang sebenarnya ditolak negara-negara berkembang karena suatu teks yang tidak mengikat secara hukum (legally binding) dan bukan suatu teks yang selama ini drafnya kita negosiasikan.

Kembali ke soal teknologi tadi. Di dalam teknologi modern muncul energi tenaga surya, nuklir, panas bumi, dan lain-lain. Mana diantara ini teknologi tersebut yang paling disetujui oleh Copenhagen?

Tidak ada yang paling disetujui. Tapi kalau kita lihat, logika saya sebagai orang iklim, pemanasan global terjadi karena kita mengeksploitasi hidrokarbon dari dalam perut bumi, lalu itu kita bakar dan buang ke atmosfir. Jadi hidrokarbon itu tidak semestinya berada di atmosfir karena asalnya bukan di sana. Akibatnya adalah global warming atau kelebihan energi karena energi matahari diserap oleh hidrokarbon tadi. Yang menjadi masalah adalah atmosfir mengalami kelebihan energi. Logikanya adalah bagaimana menyerap kelebihan energi itu di atmosfir? Nah ini sebenarnya yang sedang dikembangkan di negara maju dengan mengembangkan energi angin (wind energy). Secara logika yang sangat user friendly dan sangat tepat yaitu dengan cara mengambil energi yang berlebih di atmosfir karena secara hukum kekekalan energi bahwa energi itu tidak lari kemana-mana. Di atmosfir, kelebihan energi tadi akan menciptakan panas, global warming, atau menjadi cuaca yang lebih ekstrim, atau menjadi hujan yang lebih lebat karena energi potensial.

Memang cara yang paling cerdas adalah dengan menyerap kelebihan energi itu atau menyerap radiasi matahari itu sendiri dengan solar panel. Kalau ditanya cara yang sangat eco friendly, pilihannya adalah energi angin dan solar panel. Sebagai catatan disebutkan pada pidato pembukaan oleh Ketua Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Dr. Rajendra K. Pachauri bahwa Denmark sebenarnya sudah mengambil keuntungan nyata dari perubahan iklim dengan membuat kincir angin yang sangat efisien. Itu sudah dijual dan memberikan profit pada negara mereka, sehingga mereka melihat bahwa perubahan iklim adalah suatu pasar. Pasar untuk menyebarkan teknologi mereka.

Kita juga menunggu pemerintah untuk menerapkan teknologi alternatif semacam itu. Hanya saja yang kita ketahui justru upaya mengembangkan teknologi alternatif ini berasal dari kalangan swasta atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Paling tidak, para aktifis lingkungan merasa bahwa mereka memakai teknologi sederhana saja bisa menghasilkan energi. Mengapa pemerintah begitu lambat mengadopsi teknologi semacam ini?

Saya rasa bukan masalah lambat, kita banyak gap (jarak). Ada jarak antara political will dengan kapasitas dalam hal edukasi riset dan human resources. Kita melihat bahwa kemauan pemerintah seperti presiden mendorong pengurangan emisi 26%, tetapi implementasinya tidak didukung dengan data riset. Kita butuh data riset yang lebih jitu dan lebih banyak lagi dalam hal perubahan iklim. Kita tahu bahwa Dewan Riset Nasional belum meletakkan perubahan iklim sebagai salah satu prioritas kebijakan riset nasional.

Kedua, ada gap antara pusat dan daerah. Kita lihat para negosiator dan masalah perubahan iklim ini masih terpusat. Jadi kebijakannya juga masih terpusat. Sementara di daerah, pengetahuan masalah ini sangat lemah sekali. Ketiga adalah capacity building karena tingkat kesadaran publik masih rendah. Perlu dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah dan seperti program acara ini (red: acara Perspektif Baru). Jadi publik menyadari ada sesuatu yang harus dilakukan bahwa bumi sudah pada kondisi rusak akibat perbuatan kita bersama, dan itu sudah memberikan feedback yang negatif pada kehidupan kita. Jadi kita harus mengubah pola dan gaya hidup kita. Hal-hal ini sudah harus masuk ke dalam public awareness. Itu perlu kerja keras yang luar biasa.

Comments

Popular posts from this blog

Data Argo Float

Berikut adalah artikel yang saya dapatkan dari http://www.mosaiklautkita.com/ARGO.html yang merupakan tulisan dari Dr.Lamona Barnawis. Cukup bagus untuk tahapan-tahapan dalam mengenal dan mengolah data oseanografi. selamat membaca ============================================== Argo Untuk Menginformasikan Keadaan Lautan dan Iklim Lamona Irmudyawati Bernawis Pelajar S3, Laboratory of Physics and Environmental Modelling Tokyo University of Marine Science and Technology Sejarah singkat Bermula sebagai bagian dari World Ocean Circulation Experiment (WOCE) 1990-1997, Russ Davis dari Scripps University of Oceanography dan Doug Webb dari Webb Research Corporation membangun Autonomous Lagrangian Circulation Explorer (ALACE) untuk mengambil data arus laut di kedalaman 1000m pada seluruh lautan. ALACE ini dipasang pada pengapung (float), yang diatur akan naik ke permukaan laut dalam selang yang teratur agar posisinya dapat diperbaiki melalui satelit. Kemudian disadari bahwa dalam proses naik ke p

Ocean Day

As a result of a United Nations General Assembly resolution passed in December 2008, World Oceans Day is now officially recognized by the UN as June 8th each year. The concept for a “World Ocean Day” was first proposed in 1992 by the Government of Canada at the Earth Summit in Rio de Janeiro, and it had been unofficially celebrated every year since then. Since 2002, The Ocean Project and the World Ocean Network have helped to promote and coordinate World Oceans Day events worldwide. We help coordinate events and activities with aquariums, zoos, museums, conservation organizations, universities, schools, and businesses. Each year an increasing number of countries and organizations have been marking June 8th as an opportunity to celebrate our world ocean and our personal connection to the sea. Together, we also developed and widely circulated a petition to the United Nations urging them to officially recognize World Oceans Day. With help from our Partner organizations, tens of thousands

Indonesian drought, Kenyan flooding

by Chun Knee Tan on July 5, 2008 Keywords: climate systems, drought, El nino, flood, Indian Ocean Dipole, Indonesia, Kenya When a drought occurs in Indonesia, there could be flooding later in Kenya. But what are the linkages between these two disasters? The answer is a phenomenon discovered 10 years ago called Indian Ocean Dipole (IOD). During normal conditions in the Indian Ocean, the sea surface temperature is warmer in the east and cooler in the west. When an Indian Ocean Dipole event occurs, the situation is reversed. Cooling of the eastern part of the Indian Ocean results in less convection and less rain. Consequently, we see a longer drought in western Indonesia during the summer and fall. Meanwhile, on the opposite side of the Indian Ocean, the abnormal warming results in enhanced cloud formation, more rain and serious flooding in eastern Africa. Current research has revealed that this IOD effect not only alters weather patterns in the surrounding region, but als