Skip to main content

Anak Laki-laki di Bulan Desember??

AKARTA -- Hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya secara maraton sepanjang hari kemarin. Meski intensitasnya tak tergolong lebat, hujan terjadi merata. Perjalanan dari Parung, Bogor, misalnya, menunjukkan pemandangan hujan yang tak kenal tapal batas administratif.

Inikah isyarat ramalan itu benar bahwa banjir akan kembali menelan Ibu Kota pada pekan-pekan ini, bahkan lebih besar daripada yang pernah terjadi pada 2007? Saat itu, hampir tiga tahun lalu, banjir yang dikirim lewat sungai-sungai maupun yang jatuh dari langit bersatu mengepung dan membuat Jakarta lumpuh.

"Prediksi yang berdasarkan NOAA (Badan Kelautan dan Atmosferik Amerika Serikat) itu tidak punya dasar," kata Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaluddin ketika dimintai tanggapan soal ramalan itu tepat sepekan yang lalu.

Meski Firdaus Ali, ahli teknik lingkungan dari Universitas Indonesia, pernah mengungkapkan bahwa model prediksi yang digunakan NOAA memiliki tingkat akurasi yang meyakinkan--dan bisa dimanfaatkan pemerintah daerah Jakarta untuk mengambil langkah antisipasi--Thomas mengaku heran karena NOAA yang ia kenal selama ini justru tak pernah meramal terperinci sampai ke satu daerah, seperti Jakarta. "Biasanya per wilayah, misalnya Indonesia," katanya di kantornya di Bandung.

Sempat minta waktu untuk melakukan penelusuran, Thomas juga mengaku tak mendapatkan data dan informasi yang sama dari badan riset cuaca Amerika

Serikat itu tentang kemungkinan cuaca ekstrem yang akan menghembalang hujan ke Jakarta di sekitar Natal, akhir tahun ini. Dari riset data dan pantauan cuaca LAPAN, Thomas mengungkapkan bahwa pola cuaca di Indonesia malah bergerak ke arah sebaliknya: awan bakal hujan berangsur-angsur meninggalkan langit Indonesia.

Pertama, Indian Ocean Dipole menunjukkan tanda positif. Artinya, awan di atas wilayah Indonesia tertarik berarak ke pantai timur Afrika di Samudra Hindia. Kedua, karena El Nino. Gejala cuaca yang dipicu hubungan antara atmosfer dan lautan di Samudra Pasifik itu kini menunjukkan kekuatan penuhnya. "Kenaikan temperatur muka laut di Pasifik Tengah dan Timur menuju 2 derajat Celsius dari suhu rata-ratanya yang berkisar 26-27 derajat," ujar peneliti utama bidang astronomi dan astrofisika itu.

Menurut Thomas, El Nino memang tidak sampai memangkas masa musim hujan di Indonesia, yang dia perkirakan terus berlangsung hingga Maret 2010. Tapi curah hujan bakal lebih rendah dibanding rata-rata curahan pada musimnya tanpa kehadiran gejala cuaca yang dalam bahasa Spanyol diterjemahkan sebagai anak laki-laki itu. "El Nino memperlambat datangnya musim hujan dan mengurangi curah hujan," katanya.

Thomas menjelaskan, pola-pola cuaca di Eropa, Amerika Serikat, atau Jepang, yang berada di daerah geografis berlintang tinggi, lebih ajeg sehingga prediksi bisa dilakukan dalam jangka panjang. Model prediksi seperti itu kurang valid jika digunakan untuk memastikan ancaman banjir besar di Jakarta.

Berada di wilayah garis ekuator, dinamika cuaca di Indonesia sangat aktif dan berubah-ubah cepat. "Itu ciri khas negara tropis," katanya, "karena penerimaan panas matahari yang lebih banyak, berada di perlintasan angin dari utara dan selatan bumi, serta khusus Indonesia yang dikelilingi laut."

Model cuaca yang bisa dipercaya di Indonesia, Thomas menilai, harus berdasarkan data harian curah hujan seperti yang rutin dikeluarkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Kalau tidak bisa harian, paling lama tiga hari sebelumnya. "Tapi paling mendekati jitu bila dilakukan dalam kurun sehari atau dalam hitungan jam," ujarnya.

Edvin Aldrian, Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG, yang dihubungi terpisah, menyatakan tahun El Nino di Indonesia sudah sampai puncaknya pada Desember ini. Memang kondisinya jauh dibanding pada 1997 ketika anomali suhu muka laut mencapai 3,68 derajat Celsius. Tapi, ya, untuk tahun ini, El Nino sudah tergolong klimaks pada angka 1,31 derajat Celsius--sebelum luruh kembali hingga Maret atau April 2010.

Edvin, yang baru saja kembali dari Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, sebagai satu di antara negosiator delegasi Indonesia, juga mengaku tidak melihat adanya ancaman banjir ekstrem di Ibu Kota pada pengujung tahun ini. Namun, bukan berarti pengaruh kedatangan El Nino seperti yang ditesiskan Thomas. "El Nino itu 'tidak main' di musim hujan," kata Edvin.

Menurut Edvin, pengaruh El Nino baru akan sangat dirasa ketika datang pada musim pancaroba, Agustus-September-Oktober. Saat itu sistem arus laut membantu menghantarkan pengaruhnya itu ke dalam wilayah Indonesia. Itu pula yang terjadi pada 1997.

Soal ancaman banjir besar di Jakarta, Edvin punya tesis sendiri. Ia memprediksi banjir terjadi pada akhir Januari 2010 lewat cold surge. Entakan massa udara dingin dari Siberia inilah yang diamatinya menyebabkan tiga kali banjir besar 2002, 2007, dan 2008.

Tanda-tanda gejala cuaca yang satu ini sudah tampak jelas di mata Edvin. "Tekanan udara Eropa barat sekarang sedang rendah-rendahnya, sedangkan Amerika Utara tinggi. Tekanan udara di Siberia sama seperti di Amerika Utara, tinggi," katanya. "Cold surge akan memasok uap air ke selatan hingga padat sekali dan mungkin sekali untuk hujan besar." WURAGIL | ANWAR SISWADI (BANDUNG)

Aman dari Samudra, Siaga dari Siberia

Lepas dari pengaruh El Nino di sebelah timur (Pasifik) dan Dipole Mode di sebelah barat (Samudra Hindia) serta interaksi keduanya, bukan berarti ancaman banjir sudah bisa diabaikan. Masih ada setidaknya satu lagi gejala alam abnormal--yang biasa mempengaruhi cuaca dan iklim di Indonesia--yang mungkin dapat melumpuhkan Jakarta dengan banjir. Ia adalah cold surge. Edvin Aldrian dari Badan Meteorologi, Klomatologi, dan Geofisika mengaku sudah melihat tanda-tandanya. Berikut ini adalah posisi mereka semua di lihat dari serambi-serambi Indonesia pada saat ini.

1. DIPOLE MODE POSITIVE

Mode ini terjadi ketika terdapat penguapan air laut dan peningkatan suhu permukaan yang lebih tinggi di Samudra Hindia bagian barat dibanding di wilayah timur. Kejadian ini akan menyedot awan di bagian barat Indonesia. Disebut moda negatif apabila terjadi sebaliknya, yakni suhu permukaan Samudra Hindia bagian timur lebih tinggi sehingga mengirim awan ke Indonesia bagian barat.

2. EL NINO

Adalah fenomena interaksi atmosfer-permukaan air di Samudra Pasifik berupa terciptanya tekanan udara tinggi di sebelah barat (sebelah timur Papua) yang mengusir awan konveksi dari wilayah Indonesia. Akibatnya, Indonesia kekeringan dan dilanda kemarau yang intensif. Terbentuknya La Nina, Si Anak Perempuan, berarti keseimbangan tekanan itu berbalik, di mana pusat tekanan tinggi tercipta di timur Samudra Pasifik. Massa udara bergerak ke arah Indonesia membawa serta uap air, mengundang awan konveksi yang siap menurunkan hujan.

3. COLD SURGE

Para ahli biasanya mengamati kehadirannya, yang mengancam Indonesia, ketika ia sudah sampai di atas Hong Kong. Ia adalah pecahan massa udara dingin dari Siberia. Pada 2007, massa udara yang kenyang dengan uap air ini bablas sampai ke Pulau Jawa. Dan apes bagi Jakarta, karena di sebelah selatannya berdiri pegunungan yang memaksa kandungan uap air itu akhirnya jatuh menjadi hujan dan menghantarkan kepadanya paket banjir kiriman.

sumber : http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/12/23/Ilmu_dan_Teknologi/index.html



Comments

Popular posts from this blog

Data Argo Float

Berikut adalah artikel yang saya dapatkan dari http://www.mosaiklautkita.com/ARGO.html yang merupakan tulisan dari Dr.Lamona Barnawis. Cukup bagus untuk tahapan-tahapan dalam mengenal dan mengolah data oseanografi. selamat membaca ============================================== Argo Untuk Menginformasikan Keadaan Lautan dan Iklim Lamona Irmudyawati Bernawis Pelajar S3, Laboratory of Physics and Environmental Modelling Tokyo University of Marine Science and Technology Sejarah singkat Bermula sebagai bagian dari World Ocean Circulation Experiment (WOCE) 1990-1997, Russ Davis dari Scripps University of Oceanography dan Doug Webb dari Webb Research Corporation membangun Autonomous Lagrangian Circulation Explorer (ALACE) untuk mengambil data arus laut di kedalaman 1000m pada seluruh lautan. ALACE ini dipasang pada pengapung (float), yang diatur akan naik ke permukaan laut dalam selang yang teratur agar posisinya dapat diperbaiki melalui satelit. Kemudian disadari bahwa dalam proses naik ke p

Ocean Day

As a result of a United Nations General Assembly resolution passed in December 2008, World Oceans Day is now officially recognized by the UN as June 8th each year. The concept for a “World Ocean Day” was first proposed in 1992 by the Government of Canada at the Earth Summit in Rio de Janeiro, and it had been unofficially celebrated every year since then. Since 2002, The Ocean Project and the World Ocean Network have helped to promote and coordinate World Oceans Day events worldwide. We help coordinate events and activities with aquariums, zoos, museums, conservation organizations, universities, schools, and businesses. Each year an increasing number of countries and organizations have been marking June 8th as an opportunity to celebrate our world ocean and our personal connection to the sea. Together, we also developed and widely circulated a petition to the United Nations urging them to officially recognize World Oceans Day. With help from our Partner organizations, tens of thousands

Indonesian drought, Kenyan flooding

by Chun Knee Tan on July 5, 2008 Keywords: climate systems, drought, El nino, flood, Indian Ocean Dipole, Indonesia, Kenya When a drought occurs in Indonesia, there could be flooding later in Kenya. But what are the linkages between these two disasters? The answer is a phenomenon discovered 10 years ago called Indian Ocean Dipole (IOD). During normal conditions in the Indian Ocean, the sea surface temperature is warmer in the east and cooler in the west. When an Indian Ocean Dipole event occurs, the situation is reversed. Cooling of the eastern part of the Indian Ocean results in less convection and less rain. Consequently, we see a longer drought in western Indonesia during the summer and fall. Meanwhile, on the opposite side of the Indian Ocean, the abnormal warming results in enhanced cloud formation, more rain and serious flooding in eastern Africa. Current research has revealed that this IOD effect not only alters weather patterns in the surrounding region, but als