Skip to main content

Pesona Hampa Obama di Kopenhagen

INILAH.COM, Kopenhagen - Pesona Presiden AS Barack Obama seolah tak pernah surut. Dalam konferensi perubahan iklim (UNFCCC) di Kopenhagen, Denmark, ia kembali membuktikan diri sebagai pemimpin dunia.

"Untuk pertama kalinya dalam sejarah, semua negara dengan perekonomian terbesar bersatu untuk menerima tanggung jawab mereka dalam mengambil tindakan mengatasi perubahan iklim," tutur Obama dengan bangga ketika konferensi pers di Kopenhagen, Sabtu (19/12).

Kebanggaan tampak terpancar jelas dari wajahnya, karena telah menemui para pemimpin India, China, Brasil, dan Afrika Selatan. Mereka telah menyepakati target mitigasi untuk membatasi pemanasan global (global warming) tak lebih dari dua derajat Celcius.

Target emisi itu, lanjut Obama, bertujuan untuk mencegah dampak pemanasan global yang bakal dirasakan seluruh dunia pada 2050 jika mereka gagal. Ia juga menyadari bahwa langkah pertama ini pasti bakal sulit. Sebab belum tentu semua negara sepaham dan sejalan.

Kesepakatan yang tidak mengikat secara legal ini juga disadari Obama. Ia berkata, memang diperlukan sesuatu yang mengikat secara hukum. Namun demikian, jika hanya menantikan itu maka takkan pernah ada kesepakatan. "Dunia takkan segera membuat progress dalam hal ini," katanya.

Dalam kesepakatan tertulis yang mendapat persetujuan 192 negara yang hadir, juga disebutkan mengenai pendanaan. Dalam hal ini, negara maju bertanggung-jawab mengeluarkan US$10 miliar per tahun pada 2010 untuk memenuhi kebutuhan negara berkembang.

"Dana itu akan dikumpulkan dari berbagai sumber. Mulai dari masyarakat umum, pihak swasta, maupun perjanjian dan multilateral," demikian pernyataan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dilansir Jumat (18/12) waktu setempat.

Sementara untuk 2010-2012, ada pendanaan jangka pendek yang juga harus dialokasikan untuk climate change. Uni Eropa (UE) diminta mengeluarkan US$10,6 miliar pada periode itu. Sementara Jepang harus merogoh kocek hingga US$11 miliar dan AS US$3,6 miliar.

Sayangnya, optimisme Obama ini tidak menular ke semua pihak. Para pemimpin Eropa merasa kecewa terhadap kesepakatan iklim yang diprakarsai PBB itu. Mereka mengeluhkan ambisi untuk mengurangi emisi secara mendalam tidak diimbangi secara merata oleh pihak lain.

Sementara itu sebagian pemimpin mengatakan perjanjian antara kelompok inti para pemimpin di Kopenhagen adalah yang terbaik, ketimbang tidak sama sekali. Terutama berkaitan dengan kegagalan negara berkembang menandatangani target mengikat untuk pengurangan emisi gas rumah kaca.

"Ini bukan perjanjian yang sempurna, tidak akan memecahkan tekanan dan ancaman iklim terhadap umat manusia," kata PM Swedia Fredrik Reinfeldt, yang negaranya mendapat giliran kepresidenan Uni Eropa.

Jose Manuel Barroso, Ketua Komisi Uni Eropa, mengatakan kurangnya legalitas perjanjian yang mengikat merupakan masalah yang memprihatinkan. "Meski lebih baik ketimbang tak ada sama sekali, ini bukanlah tindakan terbesar atau apa yang kita harapkan," ujar Barroso.

Secara sepihak, Desember lalu Uni Eropa menyetujui pengurangan emisi karbonnya 20% pada 2020 dari tingkat 1990. Mereka juga berjanji akan meningkatkan angka itu menjadi 30% jika negara-negara lain mematuhi kesepakatan Konpenhagen.

Beruntung tawaran itu mendapat sambutan luas. China dan AS yang dua polutan terbesar dunia mau menyepakatinya. Namun tetap saja, sejumlah pemimpin Eropa tak bisa menghilangkan pemikiran buruk dari benak mereka. Langkah itu tetap dinilai sebagai alternatif.

Jejak langkah Obama di dunia internasional, terutama dalam menggebrak dunia untuk bersama mengatasi perubahan iklim di Kopenhagen memang patut mendapat acungan jempol. Namun ia masih harus banyak memberikan bukti, jika ingin dunia terus melangkah bersamanya. [mdr]

Comments

Popular posts from this blog

Data Argo Float

Berikut adalah artikel yang saya dapatkan dari http://www.mosaiklautkita.com/ARGO.html yang merupakan tulisan dari Dr.Lamona Barnawis. Cukup bagus untuk tahapan-tahapan dalam mengenal dan mengolah data oseanografi. selamat membaca ============================================== Argo Untuk Menginformasikan Keadaan Lautan dan Iklim Lamona Irmudyawati Bernawis Pelajar S3, Laboratory of Physics and Environmental Modelling Tokyo University of Marine Science and Technology Sejarah singkat Bermula sebagai bagian dari World Ocean Circulation Experiment (WOCE) 1990-1997, Russ Davis dari Scripps University of Oceanography dan Doug Webb dari Webb Research Corporation membangun Autonomous Lagrangian Circulation Explorer (ALACE) untuk mengambil data arus laut di kedalaman 1000m pada seluruh lautan. ALACE ini dipasang pada pengapung (float), yang diatur akan naik ke permukaan laut dalam selang yang teratur agar posisinya dapat diperbaiki melalui satelit. Kemudian disadari bahwa dalam proses naik ke p

Ocean Day

As a result of a United Nations General Assembly resolution passed in December 2008, World Oceans Day is now officially recognized by the UN as June 8th each year. The concept for a “World Ocean Day” was first proposed in 1992 by the Government of Canada at the Earth Summit in Rio de Janeiro, and it had been unofficially celebrated every year since then. Since 2002, The Ocean Project and the World Ocean Network have helped to promote and coordinate World Oceans Day events worldwide. We help coordinate events and activities with aquariums, zoos, museums, conservation organizations, universities, schools, and businesses. Each year an increasing number of countries and organizations have been marking June 8th as an opportunity to celebrate our world ocean and our personal connection to the sea. Together, we also developed and widely circulated a petition to the United Nations urging them to officially recognize World Oceans Day. With help from our Partner organizations, tens of thousands

Indonesian drought, Kenyan flooding

by Chun Knee Tan on July 5, 2008 Keywords: climate systems, drought, El nino, flood, Indian Ocean Dipole, Indonesia, Kenya When a drought occurs in Indonesia, there could be flooding later in Kenya. But what are the linkages between these two disasters? The answer is a phenomenon discovered 10 years ago called Indian Ocean Dipole (IOD). During normal conditions in the Indian Ocean, the sea surface temperature is warmer in the east and cooler in the west. When an Indian Ocean Dipole event occurs, the situation is reversed. Cooling of the eastern part of the Indian Ocean results in less convection and less rain. Consequently, we see a longer drought in western Indonesia during the summer and fall. Meanwhile, on the opposite side of the Indian Ocean, the abnormal warming results in enhanced cloud formation, more rain and serious flooding in eastern Africa. Current research has revealed that this IOD effect not only alters weather patterns in the surrounding region, but als