Skip to main content

Agenda Pertemuan Kopenhagen 2009

Paris (ANTARA News/AFP) - Konferensi iklim PBB pada 7 hingga 18 Desember, pada awalnya diajukan sebagai pelengkap perjanjian baru untuk menangani emisi gas rumah kaca dan dampaknya setelah 2012.

Kemajuan yang lamban dalam pembicaraan, khususnya oleh para politikus Amerika Serikat, membuat pertemuan tersebut dipandang sebagai cara terbaik untuk membentuk kerangka perjanjian, yang detilnya akan digodog tahun depan.

Di bawah ini adalah masalah utama yang dibahas:

Pengurangan emisi: Masalah terbesar adalah menghimpun janji untuk mengurangi emisi pada 2020, karena ini dipandang sebagai tahapan penting menuju sasaran tahun 2050, yakni mengurangi separoh polusi karbon tahunan.

Pengurangan emisi memerlukan biaya ekonomi, karena berkaitan dengan efesiensi energi dan penggantian teknologi yang lebih bersih. Dalam hal ini, faktor harga menjadi bahasan penting di tengah krisis keuangan global belakangan ini.

Negara-negara kaya dituding sebagai penyebab pemanasan global dan dianggap lebih berkepentingan untuk mengatasinya.

Namun potensi "mimpi buruk" hari kemudian lebih banyak ditimbulkan dari negara-negara berkembang, yang telah mengurangi sedikitnya separoh dari tingkat emosinya sekarang.

China, India dan Brazil yang berpenduduk besar adalah negara yang rakus pembakaran bahan bakar fosil dan pembalakan hutan, yang semua itu menambah dampak rumah kaca, pada saat mereka berlomba untuk mencapai kemakmuran.

Masalah besar lainnya adalah apakah konferensi akan berhasil mencapai tujuan untuk mengurangi separok emisi pada 2050, suatu sasaran yang didukung oleh negara-negara Kelompok Delapan (G8), namun ditentang oleh China.

Masalah Dana: Tujuannya adalah menghimpun dana untuk membantu negara berkembang mengubah penggunaan energi dari bahan bakar fosil ke energi yang lebih ekonomis namun berkarbon rendah. Ini penting untuk meningkatkan pertahanan dalam menghadapi perubahan iklim.

Negara-negara miskin ingin agar negara-negara industri menjanjikan sekitar satu persen dari produk domestik kotor (GDP) mereka per tahun, atau sekitar 400 miliar dolar, untuk membiayai sasaran ini.

Uni Eropa diperkirakan mereka perlukan 150 miliar dolar setiap tahunnya sejak 2020.

Solusi sementara di Kopenhagen adalah menghimpun dana awal beberapa miliar dolar, yang dimulai tahun depan.

Masalah hukum: Meskipun telah bertemu selama dua tahun, namun tak berarti waktu tercurah untuk masalah-masalah penting, termasuk ledakan politik dan masalah status hukum perjanjian itu di masa depan.

Negara-negara berkembang ingin agar Protokol Kyoto 1997 diperpanjang hingga 2012, ketika kesepakatan itu habis masa berlakunya, meskipun terdapat kendala dalam mekanisme pelaksanaannya.

AS meninggalkan Protokol Kyoto karena kesepakatan itu hanya ditujukan kepada negara-negara industri, bukan kelompok besar yang ditargetkan untuk mengurangi emisi.

Pembalakan hutan: Negara-negara tropis dengan hutannya yang besar mendesakkan rancana agar negara-negara tersebut bisa melestarikan hutannya, yang diperlukan untuk menyerap karbon dioksida (CO2) dari udara. Ini memerlukan biaya besar.

Namun proyek ini terkendala pada masalah pelaksanaan, seperti bagaimana menangani konservasi dan mencegah terjadinya korupsi, serta jaminan bahwa dana tersebut tidak digunakan untuk alih teknologi dan keperluan lain negara berkembang.

Seperti diketahui bahwa pembalakan hutan memiliki andil pada turunnya emisi karbon secara global, dari 20 persen menjadi 12 persen, menurut Proyek Karbon Global (GCP), saat sekitar 30 pakar iklim bertemu bulan ini.
(*)
Sumber:
RSS Antara News Lingkungan

Comments

Popular posts from this blog

Data Argo Float

Berikut adalah artikel yang saya dapatkan dari http://www.mosaiklautkita.com/ARGO.html yang merupakan tulisan dari Dr.Lamona Barnawis. Cukup bagus untuk tahapan-tahapan dalam mengenal dan mengolah data oseanografi. selamat membaca ============================================== Argo Untuk Menginformasikan Keadaan Lautan dan Iklim Lamona Irmudyawati Bernawis Pelajar S3, Laboratory of Physics and Environmental Modelling Tokyo University of Marine Science and Technology Sejarah singkat Bermula sebagai bagian dari World Ocean Circulation Experiment (WOCE) 1990-1997, Russ Davis dari Scripps University of Oceanography dan Doug Webb dari Webb Research Corporation membangun Autonomous Lagrangian Circulation Explorer (ALACE) untuk mengambil data arus laut di kedalaman 1000m pada seluruh lautan. ALACE ini dipasang pada pengapung (float), yang diatur akan naik ke permukaan laut dalam selang yang teratur agar posisinya dapat diperbaiki melalui satelit. Kemudian disadari bahwa dalam proses naik ke p

Ocean Day

As a result of a United Nations General Assembly resolution passed in December 2008, World Oceans Day is now officially recognized by the UN as June 8th each year. The concept for a “World Ocean Day” was first proposed in 1992 by the Government of Canada at the Earth Summit in Rio de Janeiro, and it had been unofficially celebrated every year since then. Since 2002, The Ocean Project and the World Ocean Network have helped to promote and coordinate World Oceans Day events worldwide. We help coordinate events and activities with aquariums, zoos, museums, conservation organizations, universities, schools, and businesses. Each year an increasing number of countries and organizations have been marking June 8th as an opportunity to celebrate our world ocean and our personal connection to the sea. Together, we also developed and widely circulated a petition to the United Nations urging them to officially recognize World Oceans Day. With help from our Partner organizations, tens of thousands

Indonesian drought, Kenyan flooding

by Chun Knee Tan on July 5, 2008 Keywords: climate systems, drought, El nino, flood, Indian Ocean Dipole, Indonesia, Kenya When a drought occurs in Indonesia, there could be flooding later in Kenya. But what are the linkages between these two disasters? The answer is a phenomenon discovered 10 years ago called Indian Ocean Dipole (IOD). During normal conditions in the Indian Ocean, the sea surface temperature is warmer in the east and cooler in the west. When an Indian Ocean Dipole event occurs, the situation is reversed. Cooling of the eastern part of the Indian Ocean results in less convection and less rain. Consequently, we see a longer drought in western Indonesia during the summer and fall. Meanwhile, on the opposite side of the Indian Ocean, the abnormal warming results in enhanced cloud formation, more rain and serious flooding in eastern Africa. Current research has revealed that this IOD effect not only alters weather patterns in the surrounding region, but als