Skip to main content

Pengaruh Sun Spot terhadap Iklim

Jumat, 11 Desember 2009 | 10:17 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Pada 2006 Indonesia dituduh menjadi negara ketiga terbesar pencemar CO di atmosfer sehingga dituding sebagai salah satu penyebab utama perubahan iklim global. Untuk mengetahui emisi GRK, terutama konsentrasi CO di atmosfer, pada 2006 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional terlibat dalam penelitian.

Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lapan merintis pembuatan instrumentasi sistem sampling untuk meneliti konsentrasi CO secara horizontal dan vertikal. Uji coba vertikal dilakukan di Bandung, Jawa Barat, dan Watukosek, Jawa Timur, pada 2006.

Penelitian dari Panel Ahli Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) menunjukkan, konsentrasi CO tahun 2004 sebesar 378 ppm dan akan meningkat menjadi 714 ppm.

”Hasil analisis data lapangan menunjukkan, CO tidak berpengaruh signifikan pada pemanasan global. Analisis data menunjukkan, konsentrasi sekitar 400 ppm,” ujar Chunaeni Latief, Msc (61), yang dikukuhkan sebagai profesor riset di bidang optoelektronika dan aplikasi laser.

Untuk melakukan penelitian itu, Chunaeni merancang bangun instrumen pemantau CO. Instrumen terdiri atas sistem ruas atas atmosfer dan sistem ruas Bumi sebagai penerima. Sistem ruas atas atmosfer atau gondola berbasis sensor Vaisala sebagai sensor CO terdiri atas sensor pengukur parameter atmosfer sistem, kontrol, dan pengirim data digital. Sistem ruas Bumi memproses pengukuran di atmosfer.

Uji coba menunjukkan, instrumentasi ini dapat digunakan untuk penelitian horizontal jarak jauh parameter atmosfer lainnya dengan menyempurnakan sensornya dan menggunakan balon udara. Penelitian CO membuka peluang penelitian fenomena konveksi dan fenomena pendinginan di atmosfer atas akibat munculnya lapisan CO.

Matahari berperan

Kecenderungan terjadinya perubahan iklim global dewasa ini tidak hanya diakibatkan oleh aktivitas manusia, tetapi juga dipengaruhi aktivitas siklus Matahari. Dua faktor ini kini berjalan simultan.

Demikian disampaikan Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lapan Thomas Djamaluddin dalam acara Pers Tour di Kantor Lapan Bandung, kemarin.

”Data empiris banyak yang menunjukkan, aktivitas Matahari, faktor kosmogenik, punya pengaruh kepada iklim. Mekanismenya masih menjadi perdebatan,” tutur profesor riset di bidang astronomi-astrofisik LIPI ini.

Beberapa data menunjukkan adanya korelasi iklim dengan siklus Matahari. ”Ada pergeseran tekanan angin di daerah Pasifik yang terkait langsung dengan akivitas maksimum dan minimum Matahari. Sinar kosmik saat aktivitas Matahari minimum berpengaruh pada kondensasi awan,” tuturnya. (YUN/JON)

Comments

Popular posts from this blog

Data Argo Float

Berikut adalah artikel yang saya dapatkan dari http://www.mosaiklautkita.com/ARGO.html yang merupakan tulisan dari Dr.Lamona Barnawis. Cukup bagus untuk tahapan-tahapan dalam mengenal dan mengolah data oseanografi. selamat membaca ============================================== Argo Untuk Menginformasikan Keadaan Lautan dan Iklim Lamona Irmudyawati Bernawis Pelajar S3, Laboratory of Physics and Environmental Modelling Tokyo University of Marine Science and Technology Sejarah singkat Bermula sebagai bagian dari World Ocean Circulation Experiment (WOCE) 1990-1997, Russ Davis dari Scripps University of Oceanography dan Doug Webb dari Webb Research Corporation membangun Autonomous Lagrangian Circulation Explorer (ALACE) untuk mengambil data arus laut di kedalaman 1000m pada seluruh lautan. ALACE ini dipasang pada pengapung (float), yang diatur akan naik ke permukaan laut dalam selang yang teratur agar posisinya dapat diperbaiki melalui satelit. Kemudian disadari bahwa dalam proses naik ke p

Ocean Day

As a result of a United Nations General Assembly resolution passed in December 2008, World Oceans Day is now officially recognized by the UN as June 8th each year. The concept for a “World Ocean Day” was first proposed in 1992 by the Government of Canada at the Earth Summit in Rio de Janeiro, and it had been unofficially celebrated every year since then. Since 2002, The Ocean Project and the World Ocean Network have helped to promote and coordinate World Oceans Day events worldwide. We help coordinate events and activities with aquariums, zoos, museums, conservation organizations, universities, schools, and businesses. Each year an increasing number of countries and organizations have been marking June 8th as an opportunity to celebrate our world ocean and our personal connection to the sea. Together, we also developed and widely circulated a petition to the United Nations urging them to officially recognize World Oceans Day. With help from our Partner organizations, tens of thousands

Indonesian drought, Kenyan flooding

by Chun Knee Tan on July 5, 2008 Keywords: climate systems, drought, El nino, flood, Indian Ocean Dipole, Indonesia, Kenya When a drought occurs in Indonesia, there could be flooding later in Kenya. But what are the linkages between these two disasters? The answer is a phenomenon discovered 10 years ago called Indian Ocean Dipole (IOD). During normal conditions in the Indian Ocean, the sea surface temperature is warmer in the east and cooler in the west. When an Indian Ocean Dipole event occurs, the situation is reversed. Cooling of the eastern part of the Indian Ocean results in less convection and less rain. Consequently, we see a longer drought in western Indonesia during the summer and fall. Meanwhile, on the opposite side of the Indian Ocean, the abnormal warming results in enhanced cloud formation, more rain and serious flooding in eastern Africa. Current research has revealed that this IOD effect not only alters weather patterns in the surrounding region, but als