Skip to main content

WISUDA

Menjadi seorang wisudawan adalah sebuah kebahagiaan tersendiri bagi mahasiswa yang menyelesaikan studinya. Bagi sebagian orang, wisuda adalah sebuah keharusan, tapi bagi sebagian kecil lainnya tak pelak hanya seremoni belaka. Istilah wisuda ini pun belakangan telah mengalami perluasan makna dan pemakaian. Biasanya wisuda hanya dilaksanakan minimal untuk tingkat sarjana dan tingkat di atasnya, pasca sarjana. Saat ini istilah wisuda juga dipakai untuk tanda kelulusan hingga anak taman kanak-kanak (TK). Apakah pemakaian ini untuk keren-kerenan semata? Ataukah ada esensi lainnya? Apakah salah menggunakanya?

Saya berpendapat sah-sah saja kalau menggunakan istilah Wisuda ini untuk berbagai tingkatan. Toh semuanya berada pada satu poin yang sama yaitu LULUS. Dan hari berbahagia serta berbagi bersama keluarga tercinta. Toh di pesantren-pesantren pun ada istilah lainnya seperti 'haflah akhirussaah' ya….sama-sama saja sih perayaan akhir tahun ajaran, dan esensinya tetap sama juga perayaan kelulusan.

Beberapa waktu lalu ada  peristiwa wisuda yang terjadi di IAIN di Aceh terkait wisuda ini yang menjadi viral. Seorang Ayah menghadiri wisuda anaknya bukan sebagai pendamping wisuda, tetapi dia berbaris bersama wisudawan lainnya dan menerima ijasah dan salaman dengan dekan atau rektornya. Usut punya usut, sang ayah berperan menggantikan anaknya yang meninggal sebelum wisuda itu terjadi. Ahh…kalau urusan seperti ini mataku tak kuasa menahan buliran air mata yang menetes. Satu sisi wisuda adalah perayaan kebahagiaan tapi ada sisi kesedihan serta haru yang dirasakan pada saat yang bersamaan. Seorang Ayah pastinya bangga dong, anaknya bisa menyelesaikan study dan kemudian diwisuda. Ia pun pastinya sedih saat harus kehilangan seorang anaknya. Dua rasa itu bertemu pada satu momen bernama WISUDA.

Saya coba mengingat kembali momen wisuda yang saya alami. Ternyata baru sekali saja. Saat kelulusan sarjana di UNDIP dulu pada tahun 2006. Saat itu orang tua dari Sukabumi pun datang bersama sang kekasih hati yang sekarang menjadi bunda dari anak-anak saya. Tentu ada kebahagiaan yang saya rasakan dari kehadiran mereka di Semarang saat itu. Mereka pun tentunya sempat menginap beberapa malam di Semarang untuk sekedar beristirahat dan mengenal kota yang ditempati anaknya selama empat tahun. Walaupun sempat nyasar di perjalanan karena belum ada google map saat itu atau apps lainnya, mereka tetap bersemangat menghadiri wisuda pertama saya.

Seperti juga wisudawan lainnya, memakai TOGA adalah sebuah keharusan lengkap dengan topi nya berikut selendang fakultas. Apakah saya tampak keren saat itu? Susah untuk mengatakan kalau saat itu saya menampilkan yang terbaik dari diri saya. Sisi kegantengan yang masih belum tereksplore dengan baik. Lucunya sempat pula selendang fakultas yang saya pakai terbalik, untung sang kekasih melihatnya dengan jeli dan dengan sigap membetulkan posisi selendang itu seperti seharusnya. Para wisudawan berbaris dan memasuki area gedung wisuda yang sudah diatur sedemikian rupa. Kawan-kawan dengan predikat Cum laude dipisahkan dengan kami-kami yang berprestasi layaknya remah rempeyek ini. dan tiba saatnya satu per satu kami pun dipanggil seperti kawan yang di Aceh tadi. Untungnya, saat itu saya sendiri yang bersalaman dengan rektor dan mengambil ijasah saya. Bersyukur, bukan Bapak yang mewakili saya.

Pendidikan lanjut saya lalui di kota Adelaide, Australia. Kota yang sangat tenang dan indah di mata saya dan istri. Kota dengan penuh kenangan tak terlupakan. Kami anggap sebagai negara rumah kedua kami. Tak pernah hilang rasa ingin kembali ke sana, entah kapan itu waktunya. Selesai study, sempat berharap bisa mengikuti wisuda. Apa lacur, ternyata saya harus kembali dulu ke Indonesia untuk menuggu hasil pengujian tesis master nya. Dan itu memakan waktu hingga 6 bulan lamanya. Sudah tak ada semangat lagi untuk mengikuti wisuda tersebut. Momen kebahagiannya sudah terlampau hilang.

Lalu bagaimana dengan ijasah saya? Jadi pihak kampus memberikan informasi kelulusan master saya, kemudian mereka memberikan opsi, apakah ijasah saya mau diambil sendiri saat wisuda, ataukan dikirim via pos, atau dititipkan ke orang tertentu di Adelaide sana, artinya akan diambilkan orang yang sudah saya mandatkan. Sebenarnya bisa saja saya datang ke acara wisuda itu dan mengambil ijasah itu sendiri, sehingga ada momen yang bisa diabadikan. Tapi sayangnya saat itu saya memutuskan untuk dikirim saja ijasahnya ke alamat rumah di Bandung. Tak mengapa tidak bisa hadir di acara sakral wisuda yang dimaksud.

Apakah saya sedih? Lalu meratapi diri karena tak hadir di acara wisuda? TIDAK. Hidup ternyata baik-baik saja tanpa ikut wisuda itu. Ijasah pun mendarat dengan selamat melalui kurir FedEx ke almat saya. Kami tetap bergembira tanpa mengeluarkan uang sepeserpun untuk biaya visa ke australia, atau akomodasi atau biaya pesawat yang tentunya tidak murah. Apalagi kalau ingin ke sana bersama keluarga. Saya pun menyadari pada akhirnya ada berbagai hal yang perlu dipertimbangkan sebelum memutuskan hadir di acara wisuda atau tidak.

Waktu terus belalu dan kini studi lanjut pun saya lakukan kembali. Kali ini kota Bremen di Jerman menjadi tempatnya. Kota yang ada di utara Jerman ini mempunyai kampus top bernama Universitas Bremen. Memang saya sampai saat ini belum selesai studinya. Tapi hal yang menarik adalah mengenai Wiuda itu sendiri. Kampus tidak mengenal istilah wisuda yang seperti saya alami dan ketahui sebelumnya. Sebuah selebrasi besar yang dihadiri karabat dan teman serta salaman dengan rektor serta menggunakan toga tak terdengar di sini. Kalaupun ada hanya selebrasi kecil saja seprti makan-makan serta memakai topi hitam yang terbuat dari karton secara mandiri oleh teman-teman lab sendiri. Begitu pula dengan jubah toganya, hanya berupa toga kebesaran fakultas yang hanya dipinjamkan beberapa jam saja. Itupun setelah mendengarkan hasil kolokium dari ketua sidang ujian kolokium kita. Setelah itu, tak ada hingar bingar lainnya di seputaran kampus, hanya makan-makan alakadarnya saja jamuan bagi para undangan yang hadir saat ujian kolokium berlangsung.

Apakah esensinya dari ketiga model wisuda itu hilang? TIDAK. Tetap poin LULUS yang perlu dirayakan namun dengan kultur dan cara yang berbeda satu sama lainnya. Yang terlebih penting lagi adalah, apa yang akan kita lakukan setelah WISUDA itu berlangsung?

#Tetap semangat buat yang masih mengejar WISUDA dan cita-cita#

















Comments

Popular posts from this blog

Data Argo Float

Berikut adalah artikel yang saya dapatkan dari http://www.mosaiklautkita.com/ARGO.html yang merupakan tulisan dari Dr.Lamona Barnawis. Cukup bagus untuk tahapan-tahapan dalam mengenal dan mengolah data oseanografi. selamat membaca ============================================== Argo Untuk Menginformasikan Keadaan Lautan dan Iklim Lamona Irmudyawati Bernawis Pelajar S3, Laboratory of Physics and Environmental Modelling Tokyo University of Marine Science and Technology Sejarah singkat Bermula sebagai bagian dari World Ocean Circulation Experiment (WOCE) 1990-1997, Russ Davis dari Scripps University of Oceanography dan Doug Webb dari Webb Research Corporation membangun Autonomous Lagrangian Circulation Explorer (ALACE) untuk mengambil data arus laut di kedalaman 1000m pada seluruh lautan. ALACE ini dipasang pada pengapung (float), yang diatur akan naik ke permukaan laut dalam selang yang teratur agar posisinya dapat diperbaiki melalui satelit. Kemudian disadari bahwa dalam proses naik ke p

Ocean Day

As a result of a United Nations General Assembly resolution passed in December 2008, World Oceans Day is now officially recognized by the UN as June 8th each year. The concept for a “World Ocean Day” was first proposed in 1992 by the Government of Canada at the Earth Summit in Rio de Janeiro, and it had been unofficially celebrated every year since then. Since 2002, The Ocean Project and the World Ocean Network have helped to promote and coordinate World Oceans Day events worldwide. We help coordinate events and activities with aquariums, zoos, museums, conservation organizations, universities, schools, and businesses. Each year an increasing number of countries and organizations have been marking June 8th as an opportunity to celebrate our world ocean and our personal connection to the sea. Together, we also developed and widely circulated a petition to the United Nations urging them to officially recognize World Oceans Day. With help from our Partner organizations, tens of thousands

Indonesian drought, Kenyan flooding

by Chun Knee Tan on July 5, 2008 Keywords: climate systems, drought, El nino, flood, Indian Ocean Dipole, Indonesia, Kenya When a drought occurs in Indonesia, there could be flooding later in Kenya. But what are the linkages between these two disasters? The answer is a phenomenon discovered 10 years ago called Indian Ocean Dipole (IOD). During normal conditions in the Indian Ocean, the sea surface temperature is warmer in the east and cooler in the west. When an Indian Ocean Dipole event occurs, the situation is reversed. Cooling of the eastern part of the Indian Ocean results in less convection and less rain. Consequently, we see a longer drought in western Indonesia during the summer and fall. Meanwhile, on the opposite side of the Indian Ocean, the abnormal warming results in enhanced cloud formation, more rain and serious flooding in eastern Africa. Current research has revealed that this IOD effect not only alters weather patterns in the surrounding region, but als