Skip to main content

Millenials, Perubahan Iklim dan Pilpres 2019

Gregetan aja sih mengungkapkan unek-unek dan kekesalan serta kegelisahan yang melanda beberapa periode ini.

Oleh: M. Yusuf Awaluddin *)

Tidak lama lagi rakyat Indonesia akan melakukan pemilihan umum secara serentak untuk memilih pemimpin Indonesia untuk lima tahun ke depan. Gempuran informasi pilpres 2019 pun semakin intens saja karena akan memasuki putaran-putaran terakhir masa kampanye. 
Adu visi misi pasangan calon presiden dan wakil presiden tersaji melalui berbagai media selama masa kampanye ini. Berbagai program dan solusi ditawarkan oleh masing-masing paslon untuk menarik para pemilih. Sayangnya, ada salah satu isu yang tidak banyak disorot tapi memiliki tingkat urgensi yang tidak kalah dengan yang masalah lainnya. Isu itu adalah perubahan iklim. 

Darurat Iklim
Sebetulnya, siapapun yang memimpin Indonesia periode mendatang akan dihadapkan pada tantangan penanganan perubahan iklim. Tentu upayanya tidaklah mudah. Pemerintah Indonesia pada tahun 2015 ikut menandatangani Kesepakatan Paris bersama dengan 194 negara lainnya. Langkah ini menunjukkan komiten Indonesia untuk terlibat dalam penanganan dan pengurangan emisi karbon dunia. Keterlibatan Indonesia memang sudah seharusnya, karena termasuk produsen emisi karbon yang cukup tinggi. Data Global Carbon Atlas menunjukkan Indonesia berada pada posisi ke-12 besar dunia penghasil emisi karbon. Data tahun 2014 saja menunjukkan emisi karbon nasional kita mencapai 864.907 Gg CO2e dengan sumbangan dari gas karbondioksida yang mencapai 87% (TNC-UNFCCC, 2018). Emisi karbon inilah yang disinyalir menjadi penyebab utama terjadinya pemanasan global.
Semakin meningkatnya emisi karbon global ini cukup mengkhawatirkan. Oleh karena itu, kesepakatan paris mengeluarkan rekomendasi untuk menekan pemanasan global di bawah 2 oC. Salah satu caranya adalah dengan menurunkan tingkat emisi karbon tersebut. Untuk mendukungnya, Indonesia berjanji untuk menurunkan emisi karbon nasional sebesar 41% hingga tahun 2030. 

Selain ikut menyumbang emisi karbon dunia, dalam waktu bersamaan Indonesia juga rentan terdampak perubahan iklim. Mungkin masih ingat dalam ingatan kita pada periode "El-Nino" yang menyebabkan kekeringan di banyak daerah Indonesia. Para petani gagal panen, sumur-sumur kering kerontang, warga pun susah mencari sumber air bersih. Kemudian fenomena lanjutannya adalah "La-Nina" yang menyebabkan banjir bandang di beberapa daerah kita yang membuat ribuan warga mengungsi dan kehilangan tepat tinggalnya. Selain itu, fenomena cuaca ekstrem juga dirasakan di berbagai wilayah Indonesia. Curah hujan yang melebihi rata-rata bisa menyebabkan banjir serta longsor. Demikian pula saat kemarau panjang yang melebihi intensitas normal memberi dampak kekeringan yang cukup hebat. Efeknya, ketersediaan pangan menjadi sangat terancam. Produksi berbagai komoditas seperti pertanian, perkebunan, perikanan, dll mengalami gangguan. Tidak sampai di situ, kenaikan muka air laut juga turut mengancam kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia. Cerita tenggelamnya pulau-pulau kecil atau berkurangnya garis pantai sebuah daerah pesisir menjadi masalah yang serius di masa mendatang. Hasil studi tahun 2018 yang dipimpin oleh Prof. Nerem, seorang profesor di University of Colorado Boulder, menunjukkan laju kenaikan air laut yang semakin meningkat dalam 25 tahun terakhir ini. Mereka memprediksi kenaikan air laut akan mencapai 65 cm pada tahun 2100 nanti. Kenaikan ini tidak lain diakibatkan mencairnya kutub utara dan selatan akibat pemanasan global. Oleh karena itu, penanganan yang tepat dan efisien untuk menghadapi bencana perubahan iklim ini mutlak diperlukan. 


Pilpres 2019

Lalu apa hubungannya perubahan iklim dengan pilpres 2019 ini? Para paslon yang ada tentunya diharapkan memiliki agenda yang tepat untuk mengatasi pengurangan emisi karbon ini. Kalau kita lihat dalam visi misi para paslon, keduanya secara eksplisit menyebutkan tentang lingkungan hidup. Misi paslon 01 adalah mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan dengan salah satu straginya yaitu mitigasi perubahan iklim. Sedangkan paslon 02 mencantumkan misi "membangun perekonomian nasional yang adil, makmur, berkualitas dan berwawasan lingkungan….". Memang gambarannya masih sangat luas, sehingga sangat disayangkan apabila para paslon tidak mengelaborasi lebih jauh mengenai isu perubahan iklim ini dalam program-program nyata yang mereka tawarkan. 

Penjabaran detil program harus ditunjukan oleh masing-masing paslon ataupun tim sukses. Semisal penggunaan energi terbarukan, biodiesel, pembatasan emisi buang kendaraan bermotor, insentif pajak bagi perusahaan ramah lingkungan merupakan program-program riil yang bisa ditawarkan kepada calon pemilih. Sedangkan untuk proses adaptasi seperti rehabilitasi kawasan bakau, transplantasi terumbu karang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil tak boleh dilupakan. Peningkatan literasi perubahan iklim dan peningkatan kesadaran warga pun layak untuk dikedepankan. Selain itu, pemilih pun perlu diberi tahu konsep kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah serta stake holder baik lokal ataupun nasional dari para paslon untuk mengeksekusi kebijakan pro perubahan iklim ini. 


Pemilih Millenials
Ceruk pemilih millenials memiliki porsi yang cukup besar. Kelompok umur 17 - 35 tahun ini mempunyai jumlah paling banyak dalam pemilu 2019. Berdasarkan data dari KPU, jumlah mereka mencapai 40 persen proporsi seluruh pemilih secara nasional. Tidak heran bila suara dari kelompok pemilih ini menjadi rebutan para paslon.

Beberapa karakter millenial diantaranya adalah berpikiran terbuka dan mudah menerima informasi, termasuk mengenai perubahan iklim. Mereka lebih mudah menerima perbincangan tentang perubahan iklim ini, apalagi yang sifatnya logis serta didukung oleh riset. Hasil survey the Global Shapers Survey tahun 2017 menunjukkan lebih dari 67% millenial di Asia tidak skeptis terhadap isu perubahan iklim. Mereka justru mendukung hasil riset yang menyebutkan manusia sebagai aktor utama terjadinya perubahan iklim. Hal ini menunjukkan kedekatan generasi milenial terhadap isu ini. Dengan tingkat kepedulian yang cukup tinggi terhadap perubahan iklim, berbagai informasi adaptasi serta mitigasi untuk meresponnya bisa menjadi ‘jualan’ para paslon. Jadi senjata rahasia para paslon. Karena isu ini bisa menjadi peluang untuk memikat para pemilih generasi ini. Masih ada waktu bagi masing-masing paslon dan tim kampanye untuk berebut ceruk besar pemilih ini. Tentunya akan menjadi sangat menarik menantikan jurus-jurus yang akan dikeluarkan para paslon menjelang periode kampanye ini akan berakhir.

*) Dosen Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNPAD


Comments

Popular posts from this blog

Data Argo Float

Berikut adalah artikel yang saya dapatkan dari http://www.mosaiklautkita.com/ARGO.html yang merupakan tulisan dari Dr.Lamona Barnawis. Cukup bagus untuk tahapan-tahapan dalam mengenal dan mengolah data oseanografi. selamat membaca ============================================== Argo Untuk Menginformasikan Keadaan Lautan dan Iklim Lamona Irmudyawati Bernawis Pelajar S3, Laboratory of Physics and Environmental Modelling Tokyo University of Marine Science and Technology Sejarah singkat Bermula sebagai bagian dari World Ocean Circulation Experiment (WOCE) 1990-1997, Russ Davis dari Scripps University of Oceanography dan Doug Webb dari Webb Research Corporation membangun Autonomous Lagrangian Circulation Explorer (ALACE) untuk mengambil data arus laut di kedalaman 1000m pada seluruh lautan. ALACE ini dipasang pada pengapung (float), yang diatur akan naik ke permukaan laut dalam selang yang teratur agar posisinya dapat diperbaiki melalui satelit. Kemudian disadari bahwa dalam proses naik ke p

Ocean Day

As a result of a United Nations General Assembly resolution passed in December 2008, World Oceans Day is now officially recognized by the UN as June 8th each year. The concept for a “World Ocean Day” was first proposed in 1992 by the Government of Canada at the Earth Summit in Rio de Janeiro, and it had been unofficially celebrated every year since then. Since 2002, The Ocean Project and the World Ocean Network have helped to promote and coordinate World Oceans Day events worldwide. We help coordinate events and activities with aquariums, zoos, museums, conservation organizations, universities, schools, and businesses. Each year an increasing number of countries and organizations have been marking June 8th as an opportunity to celebrate our world ocean and our personal connection to the sea. Together, we also developed and widely circulated a petition to the United Nations urging them to officially recognize World Oceans Day. With help from our Partner organizations, tens of thousands

Indonesian drought, Kenyan flooding

by Chun Knee Tan on July 5, 2008 Keywords: climate systems, drought, El nino, flood, Indian Ocean Dipole, Indonesia, Kenya When a drought occurs in Indonesia, there could be flooding later in Kenya. But what are the linkages between these two disasters? The answer is a phenomenon discovered 10 years ago called Indian Ocean Dipole (IOD). During normal conditions in the Indian Ocean, the sea surface temperature is warmer in the east and cooler in the west. When an Indian Ocean Dipole event occurs, the situation is reversed. Cooling of the eastern part of the Indian Ocean results in less convection and less rain. Consequently, we see a longer drought in western Indonesia during the summer and fall. Meanwhile, on the opposite side of the Indian Ocean, the abnormal warming results in enhanced cloud formation, more rain and serious flooding in eastern Africa. Current research has revealed that this IOD effect not only alters weather patterns in the surrounding region, but als