Skip to main content

WOC 2009 dan CTI

Selasa, 12 Mei 2009 | 22:37 WIB

MANADO, KOMPAS.com - Prof Dr Emil Salim, Ketua Delegasi Indonesia untuk Konferensi Kelautan (WOC), KTT Terumbu Karang (CTI), mengatakan strategi penanggulangan perubahan iklim business as usual (BAU) atau strategi penanggulangan setelah ditemukan kasus dampak perubahan iklim sama sekali tidak efektif. Ia mengatakan saat ini dibutuhkan solusi nyata dalam bidang science untuk membantu negara dunia ketiga, seperti Indonesia yang paling merasakan dampak climate change.

Mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup ini mengatakan hal tersebut ketika mengantarkan kata sambutan di depan ratusan tamu asing maupun dalam negeri yang menghadiri pembukaan International Symposium on Ocean Science Technology and Policy di ruang Plenary Hall Gedung Manado Convention Center (MCC), Selasa (12/5).

Lebih lanjut Emil mengungkapkan saat ini dampak perubahan iklim sudah terasa terjadi di Indonesia. Ia mengungkapkan dari 70.500 pulau yang ada di Indonesia, sudah 29 pulau lenyap dari wilayah Indonesia. "Dari total kepulauan yang ada di Indonesia sebanyak 24 pulau sudah hilang tenggelam tertutup permukaan air, dimana dalam setahun permukaan air terus meningkat sebesar 1-3 meter," ujar Emil.

Ia mengambahkan saat ini temperatur udara terus meningkat hingga 37 derajat celcius, sehingga memicu pemanasan global yang berujung terhadap melelehnya lapisan es yang ada di Kutub Utara.

Berdasarkan hasil penelitian NCAR, rata-rata penyusutan es di Laut Kutub Utara mencapai 7,8 persen setiap dasawarsa selama tahun 1953-2006. Apabila kondisi seperti itu terus berlangsung, maka diperkirakan es Laut Kutub Utara akan lenyap pada tahun 2050. Prediksi NCAR ini jauh lebih cepat dari perkiraan IPCC yang menyebutkan bahwa es di Laut Kutub Utara akan musnah setelah tahun 2100.

Oleh karena itu Emil menyarankan para peneliti, ilmuwan, negarawan, praktisi, dan pakar hukum mancanegara dan domestik yang hadir dalam International Symposium and Ocean Science Technology and Policy mampu memformulasikan langkah pengurangan kadar Co2 di udara dengan cara melakukan penyelamatan dan pemeliharaan terhadap terumbu-terumbu karang yang menjadi "hutan biru" dunia.

Pernyataan Emil didukung oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Fredy Numberi yang juga memberikan kata sambutan dalam symposium laut bertaraf internasional tersebut.

Ia mengungkapkan apabila tidak ada langkah nyata mengatasi perubahan iklim maka para masyarakat pesisir pantai yang paling merasakan dampaknya. "Masyarakat pesisir hidup ditepi laut, apabila daratan yang ia tempati terus terkikis mereka terpaksa meninggalkan wilayah tersebut, dimana mereka akan kehilangan mata pencaharian mereka," paparnya.

Bila mereka kehilangan mata pencaharian mereka maka negara juga yang akan dirugikan dari sektor ekonomi. Oleh karena itu ia menaruh harapan besar terhadap symposium ini, dimana merupakan konfrensi kelautan yang ada selama 27 tahun terakhir. "Masalah perubahan iklim tidak bisa dipecahkan tanpa ada kerjasama antar negara, karena permasalahan ini adalah masalah bersama," ujarnya.

Dalam acara pembukaan symposium kelautan tersebut, Gubenur Sulawesi Utara (Sulut), Sinyo Harry Sarundajang memberikan apresiasi terhadap tamu-tamu sudah meluangkan waktu mereka untuk menghadiri WOC dan CTI Summit 2009.

Acara yang berlangsung selama satu jam tersebut, diresmikan dengan ceremony pemukulan gong yang dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Fredy Numberi yang ditemani oleh Prof Dr Emil Salim dan Gubernur Sulut Sinyo Harri Sarundajang.

Setelah acara peresmian selesai, simposium yang membahas berbagai macam tema langsung digelar serentak di 11 ruang yang ada di MCC. Seminar berlangsung dalam dua sesi, sesi pertama berlangsung antara pukul 12.00 hingga 13.00 dilanjutkan pada sesi ke dua yang berlangsung dari pukul 14.30 hingga 15.00. (Tribun Manado/Samuel)

Comments

Selamatkan Nelayan dan Taman Bermain Anak-anak Laut

samar-samar
kerang laut masih gaungkan nyanyi lamat=lamat

nenek moyangku orang pelaut……

ya,
kelak anak-anak kami
yang kini masih bahagia bermain di pekarangan laut kami...

memang harus diakui
tidak leluasa lagi
ada ceceran limbah minyak bumi, sampah-sampah dan limbah industri
juga dari dapur dan kakus penduduk kota
juga abrasi air laut

bisa berpenghidupan, di ladang ikan ini
bangga mengarungi seribu lautan
untuk mengangkut dan memperdagangkan hasil bumi
mengibarkan harga diri kami

menjadi manusia sejati

atau

naga

api

laut, O! ikan, O! asin itu asin, api itu amarah
OceanOne said…
namun syang seribu sayang, sampai sekarang kebijakan penyelamatan itu masih sebatas wacana yang entah kapan secara masiv bisa terlaksana....
sampai sekarang nelayan masih menjadi aktor kemiskinan utama di pesisir kita...
sambil terus berharap suatu hari nanti...

Popular posts from this blog

Data Argo Float

Berikut adalah artikel yang saya dapatkan dari http://www.mosaiklautkita.com/ARGO.html yang merupakan tulisan dari Dr.Lamona Barnawis. Cukup bagus untuk tahapan-tahapan dalam mengenal dan mengolah data oseanografi. selamat membaca ============================================== Argo Untuk Menginformasikan Keadaan Lautan dan Iklim Lamona Irmudyawati Bernawis Pelajar S3, Laboratory of Physics and Environmental Modelling Tokyo University of Marine Science and Technology Sejarah singkat Bermula sebagai bagian dari World Ocean Circulation Experiment (WOCE) 1990-1997, Russ Davis dari Scripps University of Oceanography dan Doug Webb dari Webb Research Corporation membangun Autonomous Lagrangian Circulation Explorer (ALACE) untuk mengambil data arus laut di kedalaman 1000m pada seluruh lautan. ALACE ini dipasang pada pengapung (float), yang diatur akan naik ke permukaan laut dalam selang yang teratur agar posisinya dapat diperbaiki melalui satelit. Kemudian disadari bahwa dalam proses naik ke p

Ocean Day

As a result of a United Nations General Assembly resolution passed in December 2008, World Oceans Day is now officially recognized by the UN as June 8th each year. The concept for a “World Ocean Day” was first proposed in 1992 by the Government of Canada at the Earth Summit in Rio de Janeiro, and it had been unofficially celebrated every year since then. Since 2002, The Ocean Project and the World Ocean Network have helped to promote and coordinate World Oceans Day events worldwide. We help coordinate events and activities with aquariums, zoos, museums, conservation organizations, universities, schools, and businesses. Each year an increasing number of countries and organizations have been marking June 8th as an opportunity to celebrate our world ocean and our personal connection to the sea. Together, we also developed and widely circulated a petition to the United Nations urging them to officially recognize World Oceans Day. With help from our Partner organizations, tens of thousands

Indonesian drought, Kenyan flooding

by Chun Knee Tan on July 5, 2008 Keywords: climate systems, drought, El nino, flood, Indian Ocean Dipole, Indonesia, Kenya When a drought occurs in Indonesia, there could be flooding later in Kenya. But what are the linkages between these two disasters? The answer is a phenomenon discovered 10 years ago called Indian Ocean Dipole (IOD). During normal conditions in the Indian Ocean, the sea surface temperature is warmer in the east and cooler in the west. When an Indian Ocean Dipole event occurs, the situation is reversed. Cooling of the eastern part of the Indian Ocean results in less convection and less rain. Consequently, we see a longer drought in western Indonesia during the summer and fall. Meanwhile, on the opposite side of the Indian Ocean, the abnormal warming results in enhanced cloud formation, more rain and serious flooding in eastern Africa. Current research has revealed that this IOD effect not only alters weather patterns in the surrounding region, but als