Dewan Perubahan Iklim Menyongsong Kopenhagen
OLEH: ALAN F KOROPITAN dalam Harian Sinar Harapan 12 Juni 2009
Tak terasa, dengan hadirnya PP No 46 Tahun 2008, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) akan berusia satu tahun pada 4 Juli 2009. Salah satu tugas DNPI adalah memperkuat posisi Indonesia untuk mendorong negara-negara industri bertanggung jawab dalam pengendalian perubahan iklim. Namun, aksi nyata DNPI belum terlihat sampai saat ini. Pembentukan kelompok kerja (pokja) pada kenyataannya belum rampung sepenuhnya, padahal pokja ini akan membantu DNPI yang diketuai Presiden RI dan beranggotakan pejabat negara yang notabene sangat sibuk. Pokja juga merupakan wadah yang menampung para pakar dan aktivis lingkungan serta merupakan ujung tombak dalam persiapan dan perumusan masalah iklim.
Di lain pihak, hampir seluruh negara sedang mempersiapkan strategi negosiasi tentang perubahan iklim, menjelang pertemuan Kopenhagen pada Desember 2009. Pertemuan Kopenhagen sangat penting dalam mencapai kesepakatan baru untuk mengontrol perubahan iklim, setelah periode Protokol Kyoto berakhir pada 2012. Jadi, masih tersisa enam bulan lagi untuk menyamakan persepsi nasional dalam menyikapi masa depan bumi. Juga, penyamaan persepsi dalam level regional Asia Tenggara maupun level internasional, untuk membentuk posisi tawar dalam negosiasi pada pertemuan Kopenhagen. Apakah agenda utama yang perlu diperjuangkan dalam negosiasi iklim di Kopenhagen?
Pertemuan Bali pada Desember 2007 telah melahirkan Rencana Aksi Bali (RAB) yang merupakan pokok-pokok penuntun dalam memperbaiki Protokol Kyoto. Dengan demikian, RAB merupakan jembatan menuju Kopenhagen. Namun, menurut K Madhava Sarma (mantan sekretaris eksekutif pada sekretariat Protokol Montreal) dan Durwood Zaelke (2009) pertemuan Bali masih menyisakan beberapa topik yang belum disepakati dan perlu dinegosiasikan, yaitu yang menyangkut komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, teknologi, dan mekanisme pendanaan.
Negara-negara berkembang tidak bersedia melakukan komitmen dan memilih pasif, sementara negara-negara industri tetap bersikukuh bahwa negara-negara yang ekonominya sudah membaik harus terlibat aktif dan ikut berkomitmen. Tentang teknologi, negara-negara berkembang mengharapkan adanya jaminan transfer teknologi dari negara-negara industri (termasuk konsekuensi biaya yang dibutuhkan) serta kelonggaran hak paten teknologi yang dimiliki oleh sektor swasta, sementara negara-negara industri tetap mempertahankan perlindungan hak kepemilikan intelektual dalam perdagangan. Dalam soal mekanisme pendanaan: negara-negara berkembang menghendaki adanya model pendanaan baru, di mana negara-negara industri dituntut memenuhi segala biaya yang diperlukan, namun negara-negara industri cenderung mempertahankan mekanisme yang telah disepakati pada Protokol Montreal yaitu pendanaan yang bersifat sukarela.
Antisipasi DNPI dalam Proses Negosiasi
Melihat gencarnya kampanye pencegahan perubahan iklim di mana-mana, kemungkinan besar poin pertama akan diberlakukan bagi seluruh negara. Sekali hal ini diadopsi oleh PBB, negara-negara yang tidak mematuhinya akan mendapat sanksi internasional.
Mengantisipasi hal ini, DNPI perlu mempersiapkan diri untuk menentukan status awal Indonesia terhadap besaran emisi Gas Rumah Kaca. Pada tahun 2006, kita sempat dikagetkan oleh laporan dari Wetlands International yang mengatakan bahwa Indonesia seharusnya berada pada posisi ketiga negara penghasil emisi terbesar CO2, setelah AS dan China. Perhitungan ini didasari oleh kenyataan yang terjadi hampir setiap tahun, yaitu kasus kebakaran hutan termasuk lahan gambut, khususnya di Kalimantan dan Sumatera.
Hal ini pernah dibantah oleh Edvin Aldrian, peneliti BPPT, yang mencermati metode perhitungan emisi tanpa mengikutsertakan faktor absorpsi oleh hutan. Namun, upaya penggalangan opini bahwa Indonesia sebagai negara penghasil emisi CO2 signifikan masih terus berjalan. Sebagai contoh, Prof Osaki dari Hokkaido University menyatakan bahwa perusakan lahan gambut di Kalimantan Tengah memiliki andil besar dalam emisi karbon. Pelepasan CO2 akibat pembukaan lahan gambut besar-besaran berkisar 0,6 gigaton, di mana menurutnya setara dengan US$ 1 miliar.
Opini-opini tersebut perlu disikapi dengan serius oleh DNPI. Untuk itu dibutuhkan data-data pendukung yang valid. Jika tidak maka akan sa-ngat berpengaruh dalam negosiasi poin 3, yaitu mekanisme pendanaan. Untuk poin 2, Indonesia dan delegasi negara-negara berkembang lainnya perlu berjuang untuk jaminan transfer teknologi. Walaupun demikian, kecil harapannya untuk mendapatkan kelonggaran dalam pemanfaatan hak paten yang dimiliki oleh sektor swasta di negara-negara industri.
Proposal China dan Kelompok 77
Menjelang pertemuan Kopenhagen, telah bermunculan beberapa proposal berkaitan dengan mekanisme pendanaan untuk mitigasi, adaptasi dan transfer teknologi untuk perubahan iklim. Proposal yang diajukan oleh China dan Kelom-pok 77 (koalisi negara-negara berkembang PBB dengan jumlah anggota 130 negara) dalam hal ini memiliki alasan yang tepat dan mewakili kepentingan negara-negara berkembang.
Seperti yang dikemukakan oleh Robert Engelman, Wakil Presiden Worldwatch Institute (2009), isu penting dalam proposal ini adalah: a. Pembentukan panitia bersama (negara industri dan berkembang) dalam menentukan alokasi dana bagi program adaptasi, mitigasi dan transfer teknologi, b. Pendanaan untuk kepentingan perubahan iklim umumnya berasal dari negara-negara industri dan diberikan dalam bentuk hibah ketimbang pinjaman. Bantuan ini terpisah dengan program bantuan resmi lainnya ke negara berkembang bagi kepentingan pembangunan ekonomi. Kemudian, besar pendanaan untuk perubahan iklim diusulkan pada level 0,5 sampai 1 persen GNP dari negara-negara industri sebagai satu kesatuan, c. Usulan dana terpisah lainnya yang berkaitan dengan mekanisme pendanaan untuk mendukung transfer teknologi di negara-negara berkembang, seperti riset teknologi energi bersih. Dana akan diatur melalui konferensi berbagai pihak yang terikat dalam perjanjian perubahan iklim.
Semoga peluang-peluang tersebut berhasil diperjuangkan oleh anggota delegasi negara kita bersama-sama dalam Kelompok 77. Untuk itu, kesiapan DNPI dan pembentukan pokja-pokja sangat mendesak dilakukan, menjelang pertemuan Kopenhagen yang tak lama lagi.
Penulis adalah postdoctoral fellow pada Department of Geology and Geophysics, University of Minnesota dan Lektor pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, IPB Bogor.
OLEH: ALAN F KOROPITAN dalam Harian Sinar Harapan 12 Juni 2009
Tak terasa, dengan hadirnya PP No 46 Tahun 2008, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) akan berusia satu tahun pada 4 Juli 2009. Salah satu tugas DNPI adalah memperkuat posisi Indonesia untuk mendorong negara-negara industri bertanggung jawab dalam pengendalian perubahan iklim. Namun, aksi nyata DNPI belum terlihat sampai saat ini. Pembentukan kelompok kerja (pokja) pada kenyataannya belum rampung sepenuhnya, padahal pokja ini akan membantu DNPI yang diketuai Presiden RI dan beranggotakan pejabat negara yang notabene sangat sibuk. Pokja juga merupakan wadah yang menampung para pakar dan aktivis lingkungan serta merupakan ujung tombak dalam persiapan dan perumusan masalah iklim.
Di lain pihak, hampir seluruh negara sedang mempersiapkan strategi negosiasi tentang perubahan iklim, menjelang pertemuan Kopenhagen pada Desember 2009. Pertemuan Kopenhagen sangat penting dalam mencapai kesepakatan baru untuk mengontrol perubahan iklim, setelah periode Protokol Kyoto berakhir pada 2012. Jadi, masih tersisa enam bulan lagi untuk menyamakan persepsi nasional dalam menyikapi masa depan bumi. Juga, penyamaan persepsi dalam level regional Asia Tenggara maupun level internasional, untuk membentuk posisi tawar dalam negosiasi pada pertemuan Kopenhagen. Apakah agenda utama yang perlu diperjuangkan dalam negosiasi iklim di Kopenhagen?
Pertemuan Bali pada Desember 2007 telah melahirkan Rencana Aksi Bali (RAB) yang merupakan pokok-pokok penuntun dalam memperbaiki Protokol Kyoto. Dengan demikian, RAB merupakan jembatan menuju Kopenhagen. Namun, menurut K Madhava Sarma (mantan sekretaris eksekutif pada sekretariat Protokol Montreal) dan Durwood Zaelke (2009) pertemuan Bali masih menyisakan beberapa topik yang belum disepakati dan perlu dinegosiasikan, yaitu yang menyangkut komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, teknologi, dan mekanisme pendanaan.
Negara-negara berkembang tidak bersedia melakukan komitmen dan memilih pasif, sementara negara-negara industri tetap bersikukuh bahwa negara-negara yang ekonominya sudah membaik harus terlibat aktif dan ikut berkomitmen. Tentang teknologi, negara-negara berkembang mengharapkan adanya jaminan transfer teknologi dari negara-negara industri (termasuk konsekuensi biaya yang dibutuhkan) serta kelonggaran hak paten teknologi yang dimiliki oleh sektor swasta, sementara negara-negara industri tetap mempertahankan perlindungan hak kepemilikan intelektual dalam perdagangan. Dalam soal mekanisme pendanaan: negara-negara berkembang menghendaki adanya model pendanaan baru, di mana negara-negara industri dituntut memenuhi segala biaya yang diperlukan, namun negara-negara industri cenderung mempertahankan mekanisme yang telah disepakati pada Protokol Montreal yaitu pendanaan yang bersifat sukarela.
Antisipasi DNPI dalam Proses Negosiasi
Melihat gencarnya kampanye pencegahan perubahan iklim di mana-mana, kemungkinan besar poin pertama akan diberlakukan bagi seluruh negara. Sekali hal ini diadopsi oleh PBB, negara-negara yang tidak mematuhinya akan mendapat sanksi internasional.
Mengantisipasi hal ini, DNPI perlu mempersiapkan diri untuk menentukan status awal Indonesia terhadap besaran emisi Gas Rumah Kaca. Pada tahun 2006, kita sempat dikagetkan oleh laporan dari Wetlands International yang mengatakan bahwa Indonesia seharusnya berada pada posisi ketiga negara penghasil emisi terbesar CO2, setelah AS dan China. Perhitungan ini didasari oleh kenyataan yang terjadi hampir setiap tahun, yaitu kasus kebakaran hutan termasuk lahan gambut, khususnya di Kalimantan dan Sumatera.
Hal ini pernah dibantah oleh Edvin Aldrian, peneliti BPPT, yang mencermati metode perhitungan emisi tanpa mengikutsertakan faktor absorpsi oleh hutan. Namun, upaya penggalangan opini bahwa Indonesia sebagai negara penghasil emisi CO2 signifikan masih terus berjalan. Sebagai contoh, Prof Osaki dari Hokkaido University menyatakan bahwa perusakan lahan gambut di Kalimantan Tengah memiliki andil besar dalam emisi karbon. Pelepasan CO2 akibat pembukaan lahan gambut besar-besaran berkisar 0,6 gigaton, di mana menurutnya setara dengan US$ 1 miliar.
Opini-opini tersebut perlu disikapi dengan serius oleh DNPI. Untuk itu dibutuhkan data-data pendukung yang valid. Jika tidak maka akan sa-ngat berpengaruh dalam negosiasi poin 3, yaitu mekanisme pendanaan. Untuk poin 2, Indonesia dan delegasi negara-negara berkembang lainnya perlu berjuang untuk jaminan transfer teknologi. Walaupun demikian, kecil harapannya untuk mendapatkan kelonggaran dalam pemanfaatan hak paten yang dimiliki oleh sektor swasta di negara-negara industri.
Proposal China dan Kelompok 77
Menjelang pertemuan Kopenhagen, telah bermunculan beberapa proposal berkaitan dengan mekanisme pendanaan untuk mitigasi, adaptasi dan transfer teknologi untuk perubahan iklim. Proposal yang diajukan oleh China dan Kelom-pok 77 (koalisi negara-negara berkembang PBB dengan jumlah anggota 130 negara) dalam hal ini memiliki alasan yang tepat dan mewakili kepentingan negara-negara berkembang.
Seperti yang dikemukakan oleh Robert Engelman, Wakil Presiden Worldwatch Institute (2009), isu penting dalam proposal ini adalah: a. Pembentukan panitia bersama (negara industri dan berkembang) dalam menentukan alokasi dana bagi program adaptasi, mitigasi dan transfer teknologi, b. Pendanaan untuk kepentingan perubahan iklim umumnya berasal dari negara-negara industri dan diberikan dalam bentuk hibah ketimbang pinjaman. Bantuan ini terpisah dengan program bantuan resmi lainnya ke negara berkembang bagi kepentingan pembangunan ekonomi. Kemudian, besar pendanaan untuk perubahan iklim diusulkan pada level 0,5 sampai 1 persen GNP dari negara-negara industri sebagai satu kesatuan, c. Usulan dana terpisah lainnya yang berkaitan dengan mekanisme pendanaan untuk mendukung transfer teknologi di negara-negara berkembang, seperti riset teknologi energi bersih. Dana akan diatur melalui konferensi berbagai pihak yang terikat dalam perjanjian perubahan iklim.
Semoga peluang-peluang tersebut berhasil diperjuangkan oleh anggota delegasi negara kita bersama-sama dalam Kelompok 77. Untuk itu, kesiapan DNPI dan pembentukan pokja-pokja sangat mendesak dilakukan, menjelang pertemuan Kopenhagen yang tak lama lagi.
Penulis adalah postdoctoral fellow pada Department of Geology and Geophysics, University of Minnesota dan Lektor pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, IPB Bogor.
Comments